Jl. Cinambo No.135, Bandung 022 7834310 info@mizanpustaka.com

Seni Marayu Tuhan

Tuhan itu sudah kasih “deposit” duluan ke kita. Bahkan, dengan deposit yang unlimited. Deposit itu berupa nikmat. Padahal kita belum ngapa-ngapain, sudah dikasih nikmat yang tiada terhingga. Seperti saat kita masih di dalam perut ibu hingga masih balita, belum juga kita ibadah apapun, Tuhan telah berikan berbagai nikmat pada kita: dari yang paling mendasar adalah ruh untuk kita hidup hingga rezeki tanpa kita bekerja dimana di dalam perut ibu kita langsung mendapat rezeki delivery ke dalam perut ibu dan ke tubuh kita tanpa diminta, dicari, atau bahkan sekadar dikunyah.

Eh, wait, aneh juga ya kalau kita bekerja dan masih khawatir tak dapat jatah rezeki-Nya. Padahal bayi di dalam perut ibu aja diantar rezeki-Nya. Tuhan bisa tersinggung itu.

Sebegitu unlimited-nya nikmat Tuhan atas kita hingga jangankan untuk dibalas, sekadar menjaga salah satu nikmat paling sederhana saja, sering kita abai. Sehingga kata Nabi Saw dalam sabdanya riwayat Imam Bukhari, ada salah satu nikmat yang sering kita abai, yakni sehat. Saat pandemi, baru sadar nikmatnya oksigen. Saat sakit kencing batu, baru sadar nikmatnya kencing. Apalagi nikmatnya gigi, sungguh baru terasa kalau sakit. Eh, nikmatnya hati juga, baru terasa kalau sudah ditinggalkan oleh yang dicinta. Duh!

Bahkan, jangankan untuk menjaganya, sekadar menghitungnya ‘pun kita tak bisa. Persis sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat An-Nahl ayat 18, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya…”

Maka, masihkah kita pede menukarkan amal baik kita dengan tiket surga, di tengah samudera nikmat tak terhingga yang diberikan Tuhan pada kita? Shalat kita seumur hidup, ditukar dengan salah satu nikmat fisik kita, syukur-syukur kalau impas. Apalagi nikmat iman, dengan amal yang mana yang bisa ditukarkannya?

Oleh karena itu, ketika Sayyidah ‘Aisyah melihat Nabi shalat malam begitu panjang tiap malam, ia bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?" Maksudnya, mengapa Nabi masih beribadah sunnah sebegitunya, apalagi Nabi sudah dijamin masuk surga dan merupakan makhluk termulia? Nabi bersabda dalam sabdanya riwayat Imam bukhari, “Bukankah lebih elok jika aku menjadi hamba yang bersyukur?!”

Karenanya, amal baik saja tak cukup, ia perlu dihias secara indah menjadi “amal baik yang indah”. Sebab “Allah Maha Indah dan menyukai keindahan,” begitu sabda Nabi Muhammad sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Mas’ud. Dekati Dia dengan rayuan yang begitu romantis. Karena amal kita bukan “alat tukar” untuk surga, melainkan rahmat-Nya lah tiket masuk surga. Sehingga tak ada jalan lain dari amal itu kecuali dilakukan dengan indah dengan seni merayu agar Tuhan merasakan getaran cinta kita atas-Nya dalam amal itu hingga Dia mau memberi rahmat-Nya atas kita. Oleh karena itu kita butuh seni merayu Tuhan.

Lalu bagaimana seni merayu Tuhan itu?

Pada prinsipnya, seni merayu Tuhan adalah ber-ihsan. Ihsan itu, sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad dalam “hadis Jibril” yang begitu populer yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sayyidina Umar bin Khattab, “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”

Maka, bagaimana kira-kira kualitas ibadahmu? Ia dijalani sebagai kewajiban semata atau dengan penuh cinta sehingga begitu indah? Kata Jalaludin Rumi, kalau sekadar sebagai kewajiban maka ia akan terasa sebagai beban, namun kalau dijalani atas dasar cinta maka ia akan enjoy dimana ia akan mencapai satu keadaan yang kerap diceritakan oleh para sufi yakni dimana ia akan rindu ibadah sepersekian detik begitu ia selesai dari satu ibadah.

Seni merayu Tuhan bukan hanya mengandalkan ibadah-ibadah utama (mahdhah) yang diwajibkan Tuhan atas kita melainkan menambahi dengan ibadah-ibadah tambahan (ghoiru mahdhah) yang bisa kita persembahkan pada Tuhan selama tak ada larangannya dari Tuhan. Maka berkesenianlah dalam merayu Tuhan dalam ibadah-ibadah ghoiru mahdhah tersebut.

Saya misalnya, yang biasa ngetik di malam hari meniatkan aktivitas intelektual itu sebagai “zikir malam”. Pelukis bisa meniatkan aktivitas melukisnya sebagai ibadah melukis keindahan Tuhan. Driver ojek online, satpam, pedagang, dan apa pun pekerjaan kalian itu niatkan saja dan jalani sebagai seni merayu Tuhan.

Targetnya adalah sampai kira-kira Tuhan merasakan vibes bahwa kita benar-benar telah menghambakan diri kita sepenuhnya pada Tuhan. Sehingga Tuhan sudi kiranya memberi rahmat pada kita.

InsyaAllah!

Kirim Resensi

Podcast

Lebih Dekat

Jl. Cinambo No.135, Cisaranten Wetan, Kec. Cinambo, Kota Bandung, Jawa Barat 40293

info@mizan.com

(022) 7834310

MizanTroops

© Mizan Pustaka. All Rights Reserved. Crafted by Mizan Creative Lab